Selasa, 25 September 2012

Sang Maha Pencinta

by: Chupy Hikmah El-Puthrie

Tuhan...
Mohon dengarkan hamba-Mu...
Hamba-Mu yang terlena
akan makhluk-Mu yang berbudi mulia
Jagalah selalu hati kami
Jagalah cintaku dan cintanya
untuk tetap mencintai-Mu..
Aku cinta dia karna-Mu
Aku sayang dia karna kehendak-Mu
Ridhailah kami dalam setiap langkah
Nilailah langkah kami sebagai ibadah kepada-Mu
jauhkanlah kami dari perkara kotor dan hina
Ijinkanlah...
Kapal cinta kami berlabuh di dermaga
Jaga selalu hati kami Ya Rabb..
Kepada-Mu..
Ku panjatkan do'aku.. :)

Minggu, 05 Juni 2011

Cinta Tak Sampai

by: Shofi hiKmah eL_putHrie

Hatiku bahagia saat bersamanya
aku senang saat melihatnya
aku tak mengerti, aku happy mendengar
suaranya

Ingin slalu bersama
bercanda dan tertawa
menderita dan menangis
susah senang
ingin terus bersama

Apakah ini cinta
mungkin ya, tetapi hatiku
ingin slalu menolak rasa
yang terus menyelinap
melalui jendela hati

Rasa ini terus berlanjut
hingga aku benar-benar sadar
bahwa ia ada yang memiliki

Senin, 19 April 2010

P0hon B3rinGin (ReVisi)

Oleh Sofi Ulfamayanti

Suasana sangat gelap malam itu. Aku dan teman–temanku yang lain bergegas untuk berangkat ngaji.
“Eh, tahu nggak. Di sini katanya angker, banyak hantunya!” kata Lusi, temanku saat melewati sebuah pohon besar, tepatnya pohon beringin.
“Ih, takut... yuk kita cepetan pergi dari sini!” ajak Yesi.
“Emang beneran ada hantunya?” tanyaku tak percaya.
“Beneran, aku pernah melihatnya!” kata Lusi meyakinkan.
“Alah, hantu itu tidak ada!” kataku tak percaya.
“Nanti kalau pulang, hati–hati pada pohon itu.”
“Eh. . .”

Di sepanjang perjalanan, yang kami ceritakan hanya, hantu, hantu, dan hantu. Aku sampai bosan mendengarnya. Tak terasa sampailah kami di tempat ngaji. Banyak teman–teman yang telah berada di sana. Kami membaca Al Quran kami masing–masing.

Tak berapa lama, ngaji telah usai, semua murid telah mendapatkan giliran untuk di simak. Hari ini, aku pulang ke rumah sendiri. Karena semua teman–temanku telah pulang terlebih dulu. Setapak demi setapak kulalui. Sampailah aku di tempat pohon angker itu berada. Aku agak merinding melihat pohon beringin yang tua itu, apalagi saat kuingat ucapan temanku tadi. Saat telah lewat dari pohon itu, aku merasa lega.

* * *

Pagi harinya saat berangkat sekolah, aku diintrogasi oleh Lusi dan Yesi.
“Hai, Desi. Sorry ya, kita tinggal kemarin!” kata Lusi.
“Nggak apaapa kok, kawan.”
“Kemarin, kamu diapain sama Hantu Pohon Beringin?” tanya usil Yesi padaku.
“Nggak, nggak ada apa–apa, kok,” kataku santai.
“Kamu nggak takut sama Hantu Pohon Beringin?”
“Nggak, aku nggak takut!” kataku tegas.
“Awas lo, nanti malam kalau ada apa–apa. . .” ucap Lusi menakuti.
“Hih, apaan sih. . .?” kataku kesal.

Guru pun datang, semua murid kembali ke tempat duduk masing–masing. Kali ini pelajaran Bahasa Inggris. Kembali, yang di ceritakan adalah hantu.
“Bahasa Inggrisnya hantu apa anak–anak?” tanya bu guru.
“Ghost. . . .” teriak murid–murid semangat.
“Kali ini ibu akan memberikan sebuah tulisan kepada kalian, tepatnya adalah narrative text yaitu tentang Ghost. . .”
“Ya, Bu. . .,” kataku bosan.

* * *

Akhirnya, Ghost pun usai. Pelajaran hari ini ditutup oleh Ghost. Aku pulang sekolah bersama Lusi, Yesi dan teman – teman yang lain. Saat sampai di rumah, segera ku ganti baju lalu makan siang bersama Ayah, Ibu dan Adikku. Setelah itu kurebahkan tubuhku ke ranjang yang nyaman nan empuk milikku.

“Nak, bangun. Sudah sore!” ucap ibuku tercinta secantik bidadari itu.
“Ya, Bu,” kataku yang masih sedikit mengantuk.
Ternyata tiga jam sudah aku tidur siang. Lalu aku bangun dai tempat tidurku lalu pergi mandi untuk siap berangkat ngaji. Ku tunggu azan magrib sembari menonton TV. Tak berapa lama, magrib pun tiba. Segera aku ambil air wudlu yang segar nan suci. Aku bersama keluargaku salat bersama–sama, yang di sebut dengan salat berjamaah. Setelah salat aku siap–siap untuk berangkat ngaji.
“Bu, aku berangkat ngaji dulu, ya,” kataku sembari mencium tangan ibuku saat berpamitan. Itu kulakukan pula kepada ayahku.
“Assalamualaikum......?”
“Waalaikum salam.....,” ucap orang tuaku serempak.

Di tengah jalan, aku bertemu dengan Lusi dan Yesi yang juga akan berangkat mengaji.
“Hai, Desi. . .?” sapa Lusi dan Yesi padaku.
“Hai juga. . .!”
“Eh, nanti kamu pulang duluan aja ya. Aku sama Yesi nanti mau main dulu ke rumah teman!” pinta Lusi padaku.
“Oh, iya deh.....!”

Akhirnya aku menuruti permintaan Lusi. Saat pulang mengaji, aku sendirian. Saat melewati pohon beringin itu aku merasa merinding. Ada suara tapi tak ada rupa.
“Srrrk. . . .srrrk. . .srrrk...!”
Sebuah suara mengagetkanku. Aku berlari, tetapi suara itu terus mengikutiku.
“Hi... hi.... hi...!”
Suara tertawa seorang wanita, dan saat aku lihat ke belakang, aku melihat wanita memakai baju putih dan tampak seram sekali.
“Ha..............!” aku berteriak kencang dan aku lari secepat mungkin.
Tetapi suara itu terus mengikutiku. Aku tambah kecepatan lariku. Hingga sandalku putus.
“Aduh….!” teriakku saat sandalku putus.
“Desi…. Desi…….!”
Hantu itu menakutiku.
“Ha……….!” Aku kembali teriak dan lari, lari dan lari.
Sampai-sampai aku tak melihat ada kubangan lumpur yang tak begitu besar dan aku terjatuh ke dalamnya.
“Aw…..!” aku mengeluh kesakitan.
Lalu aku bangkit, ku tengok kanan kiri, depan, belakang pun tak lupa ku tengok. Tak ada tanda-tanda dari si hantu.
“Aman…,” ucapku lega.

Aku berlari hingga sampai ke rumah. Ibu dan ayahku heran melihat aku berlari–lari.
“Desi, kamu kenapa kotor, sandal kamu, mana?” tanya ibuku heran.
“Desi lihat.... lihat..... hantu, Bu! Aku tadi terjatuh terus sandalku putus!” jawabku takut.
“Hantu? Mana ada hantu?” tanya ayahku tak percaya.
“Beneran, Yah. Aku tadi lihat hantu!” usahaku meyakinkan.
”Sudah, sudah. Cepat mandi lalu belajar!” tegas ayahku.
“Ya, Yah....!”

* * *

Keesokan harinya, kuceritakan semua apa yang aku alami tadi malam kepada Lusi dan Yesi.
“Tadi malam, aku melihat hantu. Serem... banget!” kataku.
“Ha...... ha.... ha.....!” Lusi dan Yesi tertawa.
“Kok, kalian malah ketawa, sih. Temen lagi susah malah diketawaain.”
Aku kesal.
“Sebenarnya, yang tadi malam itu, aku!” kata Lusi dengan santainya.
“Maksud kamu?” tanyaku heran.
“Yang nakutin kamu itu Lusi!” jelas Yesi.
“Kalian tu, jahat banget sih!” kataku kesal.
“Salah sendiri kamu nggak percaya!” kata Lusi merasa tak bersalah.
“Ih, awas ya kalian....!” ancamku padanya.
“Silahkan aja.....!”

* * *

Malam harinya, kami ngaji bersama, tetapi aku minta izin untuk pulang terlebih dulu. Aku merasa santai berjalan hingga tak terasa aku telah sampai di rumah.
“Assalamualaikum…!” salamku pada ibu, ayah dan adikku.
“Waalaikum salam !” jawab mereka serempak.
“Eh… kakak sudah pulang?” tanya ibuku.
“Eh, iya nih, Bu.”
“Ya sudah. Sana belajar!” perintah ayahku.
“Ya, Yah.”
Aku lalu belajar bersama dengan adikku yang baru menginjak materi perkalian. Kemudian aku tidur terlelap di ranjang empukku.

* * *

Paginya aku berangkat ke sekolah. Tapi aku berangkat sendiri tanpa Lusi dan Yesi. Sesampainya di sekolah, ternyata mereka telah berada di sana.
“Hai, semua....?” kataku mencoba memberi salam.
“Jangan ngerasa nggak bersalah deh...!” kata Lusi sedikit kesal.
“Maksud kamu?” kataku linglung.
“Kamu yang nakutin kita, kan. Pamit pulang duluan terus ganti baju pakai pakaian putih, nyiapin perangkap lalu ngiket kaki kita!” kata Yesi panjang lebar.
“Nggak, aku langsung pulang. Kalau nggak percaya tanya ibu aku deh!” kataku meyakinkan.
“Berarti.....?” ucap Lusi terhenti.
“Pohon itu beneran ada hantunya......!” lanjut Yesi sambil berteriak dan memeluk aku.
“Ih... hantu itu nggak ada lagi!” kataku meyakinkan.
“Nggak, pasti di sini ada hantu, ada hantu!” kata Lusi ketakutan.
“Tenang, tenang ada Desi di sini....!” kataku sok berani.

* * *

Sejak saat itu Yesi dan Lusi tidak pernah menjahiliku lagi. Karena aku bilang kalau hantu itu melindungi aku. Dan mereka selalu lari apabila melewati pohon itu. Dan mereka tidak pernah berani bercanda soal hantu

Rabu, 07 April 2010

Pohon Beringin

Suasana sangat gelap malam itu. Aku dan teman – temanku yang lain bergegas untuk berangkat ngaji.
“Eh, tahu nggak. Disini katanya angker, banyak hantunya.” Kata Lusi, temanku saat melewati sebuah pohon besar, tepatnya pohon beringin.
“Ih, takut...” yuk kita cepetan pergi dari sini.” Ajak Yesi.
“Emang beneran ada hantunya ?” tanyaku tak percaya.
“Beneran, aku pernah melihatnya.” Kata Lusi meyakinkan.
“Alah, hantu itu tidak ada.” Kataku tak percaya.
“Nanti kalu pulang, hati – hati pada pohon itu.”
“Eh. . .”

Di sepanjang perjalanan, yang kami ceritakan hanya hantu, hantu dan hantu. Aku sampai bosan mendengarnya. Tak terasa sampailah kami di tempat ngaji. Banyak teman – teman yang telah berada di sana. Kami membaca Al Qur’an kami masing – masing.

Tak berapa lama, ngaji telah usai, semua murid telah mendapatkan giliran untuk di simak. Hari ini, aku pulang ke rumah sendiri. Karena semua teman – temanku telah pulang terlebih dulu. Setapak demi setapak ku lalui. Sampailah aku dimana pohon angker itu berada. Aku agak merinding melihat pohon beringin yang tua itu, apalagi saat ku ingat ucapan temanku tadi. Saat telah lewat dari pohon itu, aku merasa lega.

* * *

Pagi harinya saat berangkat sekolah, aku di introgasi oleh Lusi dan Yesi.
“Hai, Desi. Sorry ya, kita tinggal kemarin.” Kata Lusi.
“Nggak pa pa kok, kawan.”
“Kemarin, kamu di apain sama Hantu Pohon Beringin ?” tanya usil Yesi padaku.
“Nggak, nggak ada apa – apa kok” kataku santai.
“Kamu nggak takut sama Hantu Pohon Beringin ?”
“Nggak, aku nggak takut !” kataku tegas.
“Awas lo, nanti malam kalau ada apa – apa. . .” ucap Lusi menakuti.
“Hih, apaan sih. . .” kataku kesal.

Gurupun datang, semua murid kembali ke tempat duduk masing – masing. Kali ini pelajaran Bahasa Inggris. Kembali, yang di ceritakan adalah hantu.
“Bahasa inggrisnya hantu apa anak – anak ?” tanya bu guru.
“Ghost. . . .” teriak murid – murid semangat.
“ Kali ini ibu akan memberikan sebuah tulisan kepada kalian, tepatnya adalah narrative text yaitu tentang Ghost. . .”
“Ya, bu. . .” kataku bosan.

* * *

Akhirnya, Ghostpun usai. Pelajaran hari ini di tutup oleh Ghost. Aku pulang sekolah bersama Lusi, Yesi dan teman – teman yang lain. Saat sampai di rumah, segera ku ganti baju lalu makan siang bersama Ayah, Ibu dan adikku. Setelah itu ku rebahkan tubuhku ke ranjang yang nyaman nan empuk milikku.

“Nak, bangun. Sudah sore.” Ucap ibuku tercinta secantik bidadari itu.
“Ya, bu.” Kataku yang masih sedikit mengantuk.
Ternyata tiga jam sudah aku tidur siang. Lalu aku bangun dai tempat tidurku lalu pergi mandi untuk siap berangkat ngaji. Ku tunggu adzan maghrib sembari menonton TV. Tak berapa lama, maghribpun tiba. Segera ku ambil air wudlu yang segar nan suci. Aku bersama keluargaku shalat bersama – sama, yang di sebut dengan shalat berjamaah. Setelah shalat aku siap – siap untuk berangkat ngaji.
“Bu, aku berangkat ngaji dulu, ya.” Kataku sembari mencium tangan ibuku saat berpamitan. Itu ku lakukan pula kepada ayahku.
“Assalamu’alaikum......”
“waalaikum salam.....” ucap orang tuaku serempak.

Di tengah jalan, aku bertemu dengan Lusi dan Yesi yang juga akan berangkat mengaji.
“Hai, Desi. . . “sapa Lusi dan Yesi padaku.
“Hai juga. . .”
“Eh, nanti kamu pulang duluan aja ya. Aku sama Yesi nanti mau main dulu ke rumah teman “ pinta Lusi padaku.
“Oh, iya deh....”

Akhirnya aku menuruti permintaan Lusi. Saat pulang mengaji, aku sendirian. Saat melewati pohon beringin itu aku merasa merinding. Ada suara tapi tak ada rupa.
“Srrrk. . . .srrrk. . .srrrk...”
Sebuah suara mengagetkanku. Aku berlari, tetapi suara itu terus mengikutiku.
“Hi... hi.... hi...”
Suara tertawa seorang wanita, dan saat aku lihat ke belakang, aku melihat wanita memakai baju putih dan tampak seram sekali.
“Ha..............” aku berteriak kencang dan aku lari secepat mungkin.

Aku berlari hingga sampai ke rumah. Ibu dan ayahku heran melihat aku berlari – lari.
“Desi, kamu kenapa lari – lari ?” tanya ibuku heran.
“Desi lihat.... lihat..... hantu, bu.” Jawabku takut.
“Hantu ?, mana ada hantu ?” tanya ayahku tak percaya.
“Beneran, yah. Aku tadi lihat hantu.” Usahaku meyakinkan.
“Sudah, sana belajar !” suruh ayahku.
“Ya, yah....”

* * *

Keesokan harinya, ku ceritakan semua apa yang ku alami tadi malam kepada Lusi dan Yesi.
“Tadi malam, aku melihat hantu. Serem... banget !” kataku.
“Ha...... ha.... ha.....” Lusi dan Yesi tertawa.
“Kok, kalian malah ketawa, sih. Temen lagi susah malah di ketawaain.” Aku kesal.
“Sebenarnya, yang tadi malam itu, aku.” Kata Lusi dengan santainya.
“Maksud kamu ?” tanyaku heran.
“Yang nakutin kamu itu Lusi.” Jelas Yesi.
“Kalian tu, jahat banget sih !” kataku kesal.
“Salah sendiri kamu nggak percaya !” kata Lusi merasa tak bersalah.
“Ih, awas ya kalian....” ancamku padanya.
“Silahkan aja.....”

* * *

Malam harinya, kami ngaji bersama, tetapi aku minta ijin untuk pulang terlebih dulu. Aku merasa santai berjalan hingga tak terasa aku telah sampai di rumah.
“Assalamu’alaikum…!” salamku pada ibu, ayah dan adikku.
“Wa’alaikum salam “ jawab mereka serempak.
“Eh… kakak sudah pulang ?” Tanya ibuku.
“Eh, iya ni, bu.”
“Ya sudah. Sana belajar !” perintah ayahku.
“Ya, yah.”
Aku lalu belajar bersama dengan adikku yang baru menginjak materi perkalian. Kemudian aku tidur terlelap di ranjang empukku.

* * *

Paginya aku berangkat ke sekolah. Tapi aku berangkat sendiri tanpa Lusi dan Yesi. Sesampainya di sekolah, ternyata mereka telah berada di sana.
“Hai, semua....” kataku mencoba memberi salam.
“Jangan ngerasa nggak bersalah deh...” kata Lusi sedikit kesal.
“Maksud kamu ?” kataku linglung.
“Kamu yang nakutin kita, kan. Pamit pulang duluan terus ganti baju pakai pakaian putih , nyiapin perangkap lalu ngiket kaki kita.” Kata Yesi panjang lebar.
“Nggak, aku langsung pulang. Kalau nggak percaya tanya ibu aku deh.” Kataku meyakinkan.
“Berarti.....” ucap Lusi terhenti.
“Pohon itu beneran ada hantunya......” lanjut Yesi sambil berteriak dan memeluk aku.
“Ih... hantu itu nggak ada lagi.” Kataku meyakinkan.
“Nggak, pasti disini ada hantu, ada hantu.”Kata Lusi ketakutan.
“Tenang, tenang ada Desi disini....” Kataku sok berani.

* * *

Sejak saat itu Yesi dan Lusi tidak pernah menjahiliku lagi. Karena aku bilang kalau hantu itu melindungi aku. Dan mereka selalu lari apabila melewati pohon itu. Dan mereka tidak pernah berani bercanda soal hantu.

Rabu, 17 Maret 2010

SANTRI ( REVISI )

Oleh Sofi Ulfa Mayanti

Vano emang nakal. Banget malah. Dia sering berantem ma teman. Jadi, dia sering banget tuh, ketemu sama yang namanya hukuman. Waktu kelas empat SD, dia buat ulah sama Pak Prapto, guru matematika. Vano naruhin lem di kursi guru. Saat Pak Prapto duduk, otomatis celananya nempel ma kursi. Dan saat Pak Prapto berdiri…..
“Kreeeek…”
Celana Pak Prapto robek pas di bokongnya.
“Ha… ha… ha…”
Vano ngakak sambil memegangi perutnya.
“ Vano…!” geram Pak Prapto.
Kejadian itu masih di maklumi oleh sekolah. Karena, Pak Prapto juga nggak nuntut apapun.

Saat kelas enam, Pak Sandy giliran menjadi korban Vano. Dia udah pasang perangkap untuk Pak Sandy. Waktu Pak Sandy buka pintu kelas…
“Byurrr…”
Pak Sandy tersiram.
Saat itu orang tua Vano di panggil ke sekolah untuk di peringatkan.
“Pokoknya, Pak, Bu. Sekali lagi Vano buat onar. Saya akan keluarkan dia dari sekolah. Mulai hari ini, Vano saya skors selama satu minggu !!” ucap kepala sekolah.
“Makasih pak…” Melas ayah dan ibunya.

Sesampainya di rumah, Vano di marahi habis - habisan. Tetapi Vano tak menggubris sedikitpun apa yang di katakan ayah dan ibunya.
"Vano, kamu sudah banyak bikin malu ayah dan ibu kamu. Mau di taruh man muka ayahmu ini Van..." Ucap ayahnya kesal.
"Taroh aja di meja !" Kata Vano seperti tak punya salah sedikitpun.
"Plakkk..."
"Ayah, sudah. Kamu nggak pa - pa kan, nak?" Sayang ibu kepada Vano.
"Ayah emang jahat ! Ayah nggak pernah sayang sama Vano,kan ?"
Lalu Vano pergi meninggalkan ayah dan ibunya.

Waktu terus berjalan tanpa henti. UNpun makin dekat di depannya. Tetapi, ia tak menanggapinya dengan serius. Ia malah makin bandel.
Saat bersama dengan adiknya menonton TV, April melontarkan pertanyaan yang membuat jengkel hati Vano.
“Kak… kamu kok nakal banget sih?” kata adiknya, April.
“Kakak tuh nggak nakal. Cuma pengen seneng – seneng aja” ujar Vano.
“Kayak gitu di bilang seneng – seneng. Bikin susah orang tua, iya !!” tegas April.
“Alah…”
Vanopun pergi meninggalkan adiknya.
“Kak, sadar dong… dua hari lagi ujian.” Teriak April.
Tetapi Vano tak mempedulikan adiknya. Vano tetap melangkahkan kakinya untuk pergi dari ruangan itu.

Hari ini, tepat hari UN untuk Vano. Dia terlihat clingak – clinguk mencari contekan.
“Eh…Bagas! Gue minta contekan, cepet !!”
“Enak aja. Kerjain sendiri dong !” kata Bagas menolak.
“Eh, loe mau gue kasih blanggem batu !”
Vano mengancam Bagas sembari mengepalkan tangannya.
“Jangan, Van…. ni gue kasih.” Ucap Bagas.
“Nah, gitu dong. Itu baru temen gue.”

Semua materi ujian telah ia lalui. Sekarang, waktunya pengumuman. Semuanya diberi amplop hasilnya masing – masing. Tak terkecuali Vano.
“Eh… gue lulus!” ucap Bagas.
“Gue juga!” ucap teman – teman yang lain.
Terlihat Vano gugup membuka amplop itu, dan…
“Gue lulus…!” teriak Vano keras – keras.
“Hah, loe lulus Van ?” tanya Farel heran.
“Eh…. Loe ngledek gue hah…?” kata Vano sambil mencekek leher Farel.
“Vano… lepasin Farel !!!” teriak Bu Lasmi.
“Ekh… ekh… ekh…” Farel kesakitan.
Akhirnya Vano melepaskan tangannya dari leher Farel.
“Minta maaf sama Farel, sekarang !!” kata Bu Lasmi.
“Rel, maafin gue ya…” kata Vano minta maaf, tetapi dalam hatinya masih tak ikhlas.
“Iya, gue maafin. Gue juga ya…”

Setelah maaf – maafan sama Farel, Vano pulang dengan membawa kabar berita itu.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…” ucap ayah, ibu dan adik Vano serempak.
“Gimana Vano?” tanya ibu.
“Aku lulus…!!”
“Alhamdulillah…”
“Yah, nanti aku mau sekolah di SMP Permata ya, yah ? SMP faforite itu loh…!” rayu Vano.
“Nggak, Vano. Kamu akan ayah sekolahkan di MTs dan kamu akan tinggal di pesantren!” tutur ayah.
“Hah… kakak mau di titipin di pesantren, mana mau dia?” kata April.
“Iya yah, aku nggak mau di pesantren!!” tolak Vano.
“Kamu harus mau Vano. Titik !!” tegas ayah.
“Tapi…”
“Tidak ada tapi – tapi !” bentak ayahnya.

Setelah kejadian itu, vano terlihat murung. Dia hanya berada di kamarnya.
“Vano, buka pintunya, nak…” teriak ibunya.
“Nggak !! Vano nggak mau buka pintu” teriaknya.
“Vano, dengerin ibu. Kamu harus turuti kata – kata ayahmu. Itu demi kebaikanmu juga. Orang tua tidak akan menggiring anaknya ke lubang buaya. Kamu harus tahu itu.” Katanya lembut.

Hati vano tergugah mendengar perkataan ibunya. Selang beberapa saat, dia keluar dan menghampiri ibu dan ayahnya yang sedang ada di ruang keluarga.
“Yah, bu, maafin Vano ya. Vano selama ini Cuma nyusahin ayah sama ibu.” Pintanya.
“Iya, nak. Kami telah memaafkan kamu sebelum kamu minta maaf.”
“Makasih ya, yah… bu…” ucap Vano sambil memeluk ortunya.
“Lalu, bagaimana dengan rencana kamu di pesantren, nak?”
“Ya,bu. Vano setuju, tapi kalau Vano nggak betah. Vano akan keluar dari pesantren!!”
“Kok gitu, sih. Tadi, udah minta maaf ?” heran ibunya.
“Biarin !!”

Segala persiapan telah siap. Diapun telah mendaftar di MTs yang dekat dengan pesantren. Hari ini Vano akan di antar ke pesantren oleh ayahnya.
“Ibu, April… aku berangkat dulu ya.” Ucapnya sambil mencium tangan ibunya.
“Ya, Vano. Betah – betah ya disana.”
“Udah… ayuk Vano kita berangkat !” ayahnya memutus pembicaraan.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…”

Waktu terus merangkak. Tak terasa satu bulan sudah Vano di pesantren. Dan dia diijinkan untuk pulang. Dia pulang di antar oleh temannya.
“Assalamu’alaikum, ayah… ibu…Vano pulang !”
“Vano… kamu kenapa nggak bilang kalau mau pulang ?” kata ayahnya.
“Aku di antar temen kok yah…”
“Mana temen kamu ?” tanya ibu.
“Dia langsung balik ke pesantren.“
“Gimana… disana enak nggak ?”
“Enak, temannya baik – baik”
“Terus…” lanjut ibu.
Sebelum ibunya selesai bicara, sudah di potong oleh Vano.
“Udah… ya, bu. Vano mau mandi dulu. Udah sore. Nanti aja ceritanya setelah Vano ngaji, ya…” kata Vano.
“I…ya… iya…” ibu heran.
Vanopun pergi untuk mandi. Ayah dan ibu heran melihat sikap Vano.
“Yah… ibu nggak salah denger, kan ? Vano bilang dia mau ngaji ?”
“Nggak, ibu nggak salah denger. Ayah juga denger kok.”
“Subhanallah… sekarang Vano udah berubah ya, yah…!”
“Alhamdulillah…”

Setelah selesai mengaji, semuanya berkumpul di ruang keluarga.
“Kak, Kak Vano. Kakak mukulin temen kakak ya, kok pulang. Pasti di keluarin dari pesantren ?” tanya April.
“Ya nggak lah… kalau udah lama di pesantren, boleh pulang…”
“Oh… gitu, ya. Kak, tadi kok kakak ngaji sih. Kakak sakit ya…?”
“Siapa yang sakit !” bantah Vano.
“Kakak juga nggak nakal lagi. Kakak pasti beneran sakit ?”
“Nggak lah… Kak Vano kan santri. Jadi, harus rajin ngaji, jadi anak baik. Ya, kan Kak…?” sambung ibu.
“Betul itu…” ucapnya.

Allah memang maha kuasa. Apa yang ia kehendaki, maka terjadilah. Seperti yang di alami oleh Vano. Oh… ya, soal Vano bisa berubah, hanya Allah dan Vano sajalah yang tahu.

Kamis, 11 Maret 2010

SANTRI

Oleh Sofi Ulfa Mayanti

Vano emang nakal. Banget malah. Dia sering berantem ma teman. Jadi, dia sering banget tuh, ketemu sama yang namanya hukuman. Waktu kelas empat SD, dia buat ulah sama Pak Prapto, guru matematika. Vano naruhin lem di kursi guru. Saat Pak Prapto duduk, otomatis celananya nempel ma kursi. Dan saat Pak Prapto berdiri…..
“Kreeeek…”
Celana Pak Prapto robek pas di bokongnya.
“Ha… ha… ha…”
Vano ngakak sambil memegangi perutnya.
“ Vano…!” geram Pak Prapto.
Kejadian itu masih di maklumi oleh sekolah. Karena, Pak Prapto juga nggak nuntut apapun.

Saat kelas enam, Pak Sandy giliran menjadi korban Vano. Dia udah pasang perangkap untuk Pak Sandy. Waktu Pak Sandy buka pintu kelas…
“Byurrr…”
Pak Sandy tersiram.
Saat itu orang tua Vano di panggil ke sekolah untuk di peringatkan.
“Pokoknya, Pak, Bu. Sekali lagi Vano buat onar. Saya akan keluarkan dia dari sekolah. Mulai hari ini, vano saya skors selama satu minggu !!” ucap kepala sekolah.
“Makasih pak…”

Waktu terus berjalan tanpa henti. UNpun makin dekat di depannya. Tetapi, ia tak menanggapinya dengan serius. Ia malah makin bandel.
“Kak… kamu kok nakal banget sih?” kata adiknya, April.
“Kakak tuh nggak nakal. Cuma pengen seneng – seneng aja” ujar Vano.
“Kyak gitu di bilang seneng – seneng. Bikin susah oreang tua, iya !!” tegas April.
“Alah…”
Vanopun pergi meninggalkan adiknya.
“Kak, sadar dong… dua hari lagi ujian.” Teriak April.
Tetapi Vano tak mempedulikan adiknya. Vano tetap melangkahkan kakinya untuk pergi dari ruangan itu.

Hari ini, tepat hari UN untuk Vano. Dia terlihat clingak – clinguk mencari contekan.
“Eh…Bagas! Gue minta contekan, cepet !!”
“Enak aja. Kerjain aja ndiri dong !” kata Bagas menolak.
“Eh, loe mau gue kasih blanggem batu !”
Vano mengancam Bagas sembari mengepalkan tangannya.
“Jangan, Van…. Ni gue kasih.” Ucap Bagas.
“Nah, gitu dang. Itu baru temen gue.”

Semua materi ujian telah ia lalui. Sekarang, waktunya pengumuman. Semuanya diberi amplop hasilnya masing – masing. Tak terkecuali Vano.
“Eh… gue lulus!” ucap Bagas.
“Gue juga!” ucap teman – teman yang lain.
Terlihat Vano gugup membuka amplop itu, dan…
“Gue lulus…!” teriak Vano keras – keras.
“Hah, loe lulus Van ?” tanya Farel heran.
“Eh…. Loe ngledek gue hah…?” kata Vano sambil mencekek leher Farel.
“Vano… lepasin Farel !!!” teriak Bu Lasmi.
“Ekh… ekh… ekh…” Farel kesakitan.
Akhirnya Vano melepaskan tangannya dari leher Farel.
“Minta maaf sama Farel, sekarang !!” kata Bu Lasmi.
“Rel, maafin gue ya…” kata Vano.
“Iya, gue maafin. Gue juga ya…”

Setelah maaf – maafan sama Farel, Vano pulang dengan membawa kabar berita itu.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…” ucap ayah, ibu dan adik Vano serempak.
“Gimana Vano?” tanya ibu.
“Aku lulus…!!”
“Alhamdulillah…”
“Yah, nanti aku mau sekolah di SMP Permata ya, yah ? SMP faforite itu loh…!” rayu Vano.
“Nggak, Vano. Kamu akan ayah sekolahkan di MTs dan kamu akan tinggal di pesantren!” tutur ayah.
“Hah… kakak mau di titipin di pesantren, mana mau dia?” kata April.
“Iya yah, aku nggak mau di pesantren!!” tolak Vano.
“Kamu harus mau Vano. Titik !!” tegas ayah.
“Tapi…”
“Tak ada tapi – tapi !” bentak ayahnya.

Setelah kejadian itu, vano terlihat murung. Dia hanya berada di kamarnya.
“Vano, buka pintunya, nak…” teriak ibunya.
“Nggak !! Vano nggak mau buka pintu” teriaknya.
“Vano, dengerin ibu. Kamu harus turuti kata – kata ayahmu. Itu demi kebaikanmu juga. Orang tua tidak akan menggiring anaknya ke lubang buaya. Kamu harus tahu itu.” Katanya lembut.

Hati vano tergugah mendengar perkataan ibunya. Selang beberapa saat, dia keluar dan menghampiri ibu dan ayahnya yang sedang ada di ruang keluarga.
“Yah, bu, maafin vano ya. Vano selama ini Cuma nyusahin ayah sama ibu.” Pintanya.
“Iya, nak. Kami telah memaafkan kamu sebelum kamu minta maaf.”
“Makasih ya, yah… bu…” ucap Vano sambil memeluk ortunya.
“Lalu, bagaimana dengan rencana kamu di pesantren, nak?”
“Ya,bu. Vano setuju, tapi kalau Vano nggak betah. Vano akan keluar dari pesantren!!”
“Kok gitu, sih. Tadi, udah minta maaf ?” heran ibunya.
“Biarin !!”

Segala persiapan telah siap. Diapun telah mendaftar di MTs yang dekat dengan pesantren. Hari ini vano akan di antar ke pesantren oleh ayahnya.
“Ibu, April… aku berangkat dulu ya.” Ucapnya sambil mencium tangan ibunya.
“Ya, Vano. Betah – betah ya disana.”
“Udah… ayuk Vano kita berangkat !” ayahnya memutus pembicaraan.
“assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…”

Waktu terus merangkak. Tak terasa satu bulan sudah Vano di pesantren. Dan dia diijinkan untuk pulang. Dia pulang di antar oleh temannya.
“Assalamu’alaikum, ayah… ibu…Vano pulang !”
“Vano… kamu kenapa nggak bilang kalau mau pulang ?” kata ayahnya.
“Aku di antar temen kok yah…”
“Mana temen kamu ?” tanya ibu.
“Dia langsung balik ke pesantren.“
“Gimana… disana enak nggak ?”
“Enak, temannya baik – baik”
“Terus…” lanjut ibu.
Sebelum ibunya selesai bicara, sudah di potong oleh Vano.
“Udah… ya, bu. Vano mau mandi dulu. Udah sore. Nanti aja ceritanya setelah Vano ngaji, ya…” kata Vano.
“I…ya… iya…” ibu heran.
Vanopun pergi untuk mandi. Ayah dan ibu heran melihat sikap Vano.
“Yah… ibu nggak salah denger, kan ? Vano bilang dia mau ngaji ?”
“Nggak, ibu nggak salah denger. Ayah juga denger kok.”
“Subhanallah… sekarang Vano udah berubah ya, yah…!”
“Alhamdulillah…”

Setelah selesai mengaji, semuanya berkumpul di ruang keluarga.
“Kak, Kak Vano. Kakak mukulin temen kakak ya, kok pulang. Pasti di keluarin dari pesantren ?” tanya April.
“Ya nggak lah… kalau udah lama di pesantren, boleh pulang…”
“Oh… gitu, ya. Kak, tadi kok kakak ngaji sih. Kakak sakit ya…?”
“Siapa yang sakit !” bantah Vano.
“Nggak lah… Kak Vano kan santri. Jadi, harus rajin ngaji. Ya, kan Kak…?” sambung ibu.
“Betul itu…” ucapnya.

Allah memang maha kuasa. Apa yang ia kehendaki, maka terjadilah. Seperti yang di alami oleh Vano. Oh… ya, soal Vano bisa berubah, hanya Allah dan Vano sajalah yang tahu.

Jumat, 26 Februari 2010

SAJADAH MERAH ( REVISI )

Ya Allah… mengapa aku seperti ini, orang yang aku kasihi menikah dengan orang lain.

Pagi yang cerah, aku siap untuk menuju ke kampus, aku pergi ke kampus dengan bus. Saat aku sampai di kampus, aku bertemu dengan laki – laki, dia menabrakku…
“Brrrukkkk“ bukuku jatuh berserakan.
“Maaf, aku tidak sengaja“ katanya sambil membantu mengambilkan buku – bukuku.
“Nggak, nggak papa koq, ini juga salah saya. Maaf, saya buru – buru…“ Akupun meninggalkannya seorang diri di halaman kampus.

Hari ini jam bergerak lambat, karena rasanya aku ingin sekali bertemu lagi dengan lelaki itu. detik demi detik, menit demi menit, jam demi jampun kulalui, akhirnya… kelasku selesai juga. Seuruh siswa berhamburan keluar ruangan, tak terkecuali aku. Saat di jalan, suara mengagetkanku
“Tunggu… tunggu…“ seperti suara yang pernah aku dengar. Ya, benar, tidak lain tidak benar adalah suara lelaki tadi pagi.
“Ya… maaf, ada apa ya… ? “ tanyaku lembut. “ nggak, nggak papa, eh… tadi koq buru – buru pergi sih ?”
“Maaf, sekarang saya sedang banyak urusan, jadi saya harus pergi sekarang…“ akupun meninggalkannya.
“Eh… tunggu… aku belum tahu namamu ?“
“Aku Aisyah… !“

Entah mengapa, malam ini aku sulit sekali tidur, aku malah memikirkan lelaki itu. karena terlalu terbayang – bayang, diapun hanyut dalam mimpiku.
“Aisyah… Aisyah…“
“Ya, sepertinya kita sudah bertemu sebelumnya ? “ tanyaku
“iya… aku kenal denganmu tadi pagi…“
“ Kau sudah tahu namaku, lalu siapa namamu?“
“Aku Hasan, Aisyah sejak pertama mengenalmu, aku tahu kamu ini perempuan yang shalihah …“
“Lalu…“ aku memutus pembicaraannya.
“Aku ingn kau menjadi pendamping hidupku dan…“
“Aisyah… Aisyah…!!!“ umi membangunkanku.
“Ya Umi… Aisyah akan bangun“ kataku dengan penuh kesal.
Akupun segera ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu, lalu akupun melaksanakan kewajiban umat muslim, yaitu shalat.

Karena hari ini masuk pagi, jadi aku terus mandi dan siap untuk go to campus. Aku terbiasa naik bus untuk ke kempus. Saat di halte, aku merenungi mimpiku tadi malam. Apa maksudnya, bahkan aku kenal dengannya kemarin.

Biskupun datang. Di sepanjang perjalanan, aku melamun memikirkan makhluk Allah yang bernama Hasan. Tidak terasa, akupun telah sampai di depan kampus, karena saking asyiknya ngelamun. Saat itu, ternyata Hasan juga baru berangkat,
“Pagi Aisyah …“ sapanya.
“Pagi juga, Hasan… “
“Aisyah, kamu tahu namaku dari mana ? “
“Ada ajah…. “

Hingga beberapa tahun, hubunganku dengan Hasan semakin erat, sampai aku lulus kuliah.
“Aisyah, selamat ya…”
“Terima kasih ya bang…” kataku lembut.
“Oh,ya Aisyah. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”
“Apa itu bang?”
“ Aisyah, kita berteman sudah cukup lama, dan kamu tahu semua sifat – sifatku kan ? salah satunya tidak bisa memendam perasaan terlalu lama… “ “Ya… aku tahu itu, lalu…?“
“Aisyah, maukah kau menjadi pendamping hidupku, menjadi makmumku kelak?“ katanya
“Aku mau menjadi makmummu Hasan, dan aku mau kau yang menjadi imamku kelak.“
“ Alhamdulillah… semoga Allah meridhai.“

Aku tak percaya Hasan mengucapkan itu padaku sama seperti di dalam mimpiku. Sejak saat itu, aku dengan Hasan resmi ta’arufan, hingga satu bulan, hubunganku dengan Hasan baik – baik saja.

Pada saat hari minggu, aku diajak jalan – jalan oleh Hasan, dan dia memberiku suatu hadiah yang sangat berharga untukku.
“ Aisyah… ini untukmu. Semoga dengan ini, ibadahmu makin rajin.“ kata Hasan sembari memberikan sebuah bingkisan.
“ InsyaAllah, dengan ini, akan aku tingkatkan semangat beribadahku… “kataku malu- malu.
“ InsyaAllah… “ katanya.
Dia memberiku sebuah sajadah berwarna merah.

Malam ini Hasan menelphonku.
“Assalamu’alaikum, Aisyah…”
“Wa’alaikum salam, ada apa bang…?” tanyaku.
“Nggak, aku cuma mau ngajak kamu pergi. Satu minggu lagi, di tempat biasa, OK !!”
“Satu minggu lagi, tapi koq sekarang sih beri tahunya. Kan masih lama?” ucapku padanya.
“Aku lagi sibuk.Jadi nggak ada waktu buat nelphon kamu lain waktu. Oh ya… jangan hubungi aku dulu ya… nggak papa kan ?” tanyanya.
“Nggak papa koq”aku coba pahami.
“Sudah ya Aisyah…Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…”

Satu minggu kemudian, dimana hari ini adalah hari dimana hasan mengajakku. Tetapi, saat aku sampai di tempat itu, Hasan tidak berada disana, aku tunggu berjam – jam tak ada tanda – tanda dari Hasan. Akupun mencoba menelphon tetapi tak diangkat, di SMS nggak di bales. Akhirnya aku pulang dengan perasaan kecewa.

Pagi harinya, pukul 08:30, aku mencoba mencari informasi tentang Hasan.
“Pagi, Joe…”
“Pagi, tumben Syah… kamu kesini” tanyanya heran.
“Gini, aku mau Tanya sama kamu. Kamu tahu dimana Hasan?. Kemarin dia janjian denganku untuk bertemu. Tapi, dia nggak datang.”kataku.
“Emangnya kamu nggak di beri tahu ma Hasan?”
“Di beri tahu apa?” heranku.
“Dia itu kan sudah menikah, dia di jodohin sama bokapnya…!!!”
“jadi, Hasan sudah menikah…?” aku kaget.
Aku tak kuat membendung air mataku. Seketika pipiku di banjiri oleh air mata.
Hasan, aku akan slalu mendo'akanmu agar kau slalu bahagia.

Kini hanya ada SAJADAH MERAH, kawan setia dalam ibadah.