Rabu, 17 Maret 2010

SANTRI ( REVISI )

Oleh Sofi Ulfa Mayanti

Vano emang nakal. Banget malah. Dia sering berantem ma teman. Jadi, dia sering banget tuh, ketemu sama yang namanya hukuman. Waktu kelas empat SD, dia buat ulah sama Pak Prapto, guru matematika. Vano naruhin lem di kursi guru. Saat Pak Prapto duduk, otomatis celananya nempel ma kursi. Dan saat Pak Prapto berdiri…..
“Kreeeek…”
Celana Pak Prapto robek pas di bokongnya.
“Ha… ha… ha…”
Vano ngakak sambil memegangi perutnya.
“ Vano…!” geram Pak Prapto.
Kejadian itu masih di maklumi oleh sekolah. Karena, Pak Prapto juga nggak nuntut apapun.

Saat kelas enam, Pak Sandy giliran menjadi korban Vano. Dia udah pasang perangkap untuk Pak Sandy. Waktu Pak Sandy buka pintu kelas…
“Byurrr…”
Pak Sandy tersiram.
Saat itu orang tua Vano di panggil ke sekolah untuk di peringatkan.
“Pokoknya, Pak, Bu. Sekali lagi Vano buat onar. Saya akan keluarkan dia dari sekolah. Mulai hari ini, Vano saya skors selama satu minggu !!” ucap kepala sekolah.
“Makasih pak…” Melas ayah dan ibunya.

Sesampainya di rumah, Vano di marahi habis - habisan. Tetapi Vano tak menggubris sedikitpun apa yang di katakan ayah dan ibunya.
"Vano, kamu sudah banyak bikin malu ayah dan ibu kamu. Mau di taruh man muka ayahmu ini Van..." Ucap ayahnya kesal.
"Taroh aja di meja !" Kata Vano seperti tak punya salah sedikitpun.
"Plakkk..."
"Ayah, sudah. Kamu nggak pa - pa kan, nak?" Sayang ibu kepada Vano.
"Ayah emang jahat ! Ayah nggak pernah sayang sama Vano,kan ?"
Lalu Vano pergi meninggalkan ayah dan ibunya.

Waktu terus berjalan tanpa henti. UNpun makin dekat di depannya. Tetapi, ia tak menanggapinya dengan serius. Ia malah makin bandel.
Saat bersama dengan adiknya menonton TV, April melontarkan pertanyaan yang membuat jengkel hati Vano.
“Kak… kamu kok nakal banget sih?” kata adiknya, April.
“Kakak tuh nggak nakal. Cuma pengen seneng – seneng aja” ujar Vano.
“Kayak gitu di bilang seneng – seneng. Bikin susah orang tua, iya !!” tegas April.
“Alah…”
Vanopun pergi meninggalkan adiknya.
“Kak, sadar dong… dua hari lagi ujian.” Teriak April.
Tetapi Vano tak mempedulikan adiknya. Vano tetap melangkahkan kakinya untuk pergi dari ruangan itu.

Hari ini, tepat hari UN untuk Vano. Dia terlihat clingak – clinguk mencari contekan.
“Eh…Bagas! Gue minta contekan, cepet !!”
“Enak aja. Kerjain sendiri dong !” kata Bagas menolak.
“Eh, loe mau gue kasih blanggem batu !”
Vano mengancam Bagas sembari mengepalkan tangannya.
“Jangan, Van…. ni gue kasih.” Ucap Bagas.
“Nah, gitu dong. Itu baru temen gue.”

Semua materi ujian telah ia lalui. Sekarang, waktunya pengumuman. Semuanya diberi amplop hasilnya masing – masing. Tak terkecuali Vano.
“Eh… gue lulus!” ucap Bagas.
“Gue juga!” ucap teman – teman yang lain.
Terlihat Vano gugup membuka amplop itu, dan…
“Gue lulus…!” teriak Vano keras – keras.
“Hah, loe lulus Van ?” tanya Farel heran.
“Eh…. Loe ngledek gue hah…?” kata Vano sambil mencekek leher Farel.
“Vano… lepasin Farel !!!” teriak Bu Lasmi.
“Ekh… ekh… ekh…” Farel kesakitan.
Akhirnya Vano melepaskan tangannya dari leher Farel.
“Minta maaf sama Farel, sekarang !!” kata Bu Lasmi.
“Rel, maafin gue ya…” kata Vano minta maaf, tetapi dalam hatinya masih tak ikhlas.
“Iya, gue maafin. Gue juga ya…”

Setelah maaf – maafan sama Farel, Vano pulang dengan membawa kabar berita itu.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…” ucap ayah, ibu dan adik Vano serempak.
“Gimana Vano?” tanya ibu.
“Aku lulus…!!”
“Alhamdulillah…”
“Yah, nanti aku mau sekolah di SMP Permata ya, yah ? SMP faforite itu loh…!” rayu Vano.
“Nggak, Vano. Kamu akan ayah sekolahkan di MTs dan kamu akan tinggal di pesantren!” tutur ayah.
“Hah… kakak mau di titipin di pesantren, mana mau dia?” kata April.
“Iya yah, aku nggak mau di pesantren!!” tolak Vano.
“Kamu harus mau Vano. Titik !!” tegas ayah.
“Tapi…”
“Tidak ada tapi – tapi !” bentak ayahnya.

Setelah kejadian itu, vano terlihat murung. Dia hanya berada di kamarnya.
“Vano, buka pintunya, nak…” teriak ibunya.
“Nggak !! Vano nggak mau buka pintu” teriaknya.
“Vano, dengerin ibu. Kamu harus turuti kata – kata ayahmu. Itu demi kebaikanmu juga. Orang tua tidak akan menggiring anaknya ke lubang buaya. Kamu harus tahu itu.” Katanya lembut.

Hati vano tergugah mendengar perkataan ibunya. Selang beberapa saat, dia keluar dan menghampiri ibu dan ayahnya yang sedang ada di ruang keluarga.
“Yah, bu, maafin Vano ya. Vano selama ini Cuma nyusahin ayah sama ibu.” Pintanya.
“Iya, nak. Kami telah memaafkan kamu sebelum kamu minta maaf.”
“Makasih ya, yah… bu…” ucap Vano sambil memeluk ortunya.
“Lalu, bagaimana dengan rencana kamu di pesantren, nak?”
“Ya,bu. Vano setuju, tapi kalau Vano nggak betah. Vano akan keluar dari pesantren!!”
“Kok gitu, sih. Tadi, udah minta maaf ?” heran ibunya.
“Biarin !!”

Segala persiapan telah siap. Diapun telah mendaftar di MTs yang dekat dengan pesantren. Hari ini Vano akan di antar ke pesantren oleh ayahnya.
“Ibu, April… aku berangkat dulu ya.” Ucapnya sambil mencium tangan ibunya.
“Ya, Vano. Betah – betah ya disana.”
“Udah… ayuk Vano kita berangkat !” ayahnya memutus pembicaraan.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…”

Waktu terus merangkak. Tak terasa satu bulan sudah Vano di pesantren. Dan dia diijinkan untuk pulang. Dia pulang di antar oleh temannya.
“Assalamu’alaikum, ayah… ibu…Vano pulang !”
“Vano… kamu kenapa nggak bilang kalau mau pulang ?” kata ayahnya.
“Aku di antar temen kok yah…”
“Mana temen kamu ?” tanya ibu.
“Dia langsung balik ke pesantren.“
“Gimana… disana enak nggak ?”
“Enak, temannya baik – baik”
“Terus…” lanjut ibu.
Sebelum ibunya selesai bicara, sudah di potong oleh Vano.
“Udah… ya, bu. Vano mau mandi dulu. Udah sore. Nanti aja ceritanya setelah Vano ngaji, ya…” kata Vano.
“I…ya… iya…” ibu heran.
Vanopun pergi untuk mandi. Ayah dan ibu heran melihat sikap Vano.
“Yah… ibu nggak salah denger, kan ? Vano bilang dia mau ngaji ?”
“Nggak, ibu nggak salah denger. Ayah juga denger kok.”
“Subhanallah… sekarang Vano udah berubah ya, yah…!”
“Alhamdulillah…”

Setelah selesai mengaji, semuanya berkumpul di ruang keluarga.
“Kak, Kak Vano. Kakak mukulin temen kakak ya, kok pulang. Pasti di keluarin dari pesantren ?” tanya April.
“Ya nggak lah… kalau udah lama di pesantren, boleh pulang…”
“Oh… gitu, ya. Kak, tadi kok kakak ngaji sih. Kakak sakit ya…?”
“Siapa yang sakit !” bantah Vano.
“Kakak juga nggak nakal lagi. Kakak pasti beneran sakit ?”
“Nggak lah… Kak Vano kan santri. Jadi, harus rajin ngaji, jadi anak baik. Ya, kan Kak…?” sambung ibu.
“Betul itu…” ucapnya.

Allah memang maha kuasa. Apa yang ia kehendaki, maka terjadilah. Seperti yang di alami oleh Vano. Oh… ya, soal Vano bisa berubah, hanya Allah dan Vano sajalah yang tahu.

Kamis, 11 Maret 2010

SANTRI

Oleh Sofi Ulfa Mayanti

Vano emang nakal. Banget malah. Dia sering berantem ma teman. Jadi, dia sering banget tuh, ketemu sama yang namanya hukuman. Waktu kelas empat SD, dia buat ulah sama Pak Prapto, guru matematika. Vano naruhin lem di kursi guru. Saat Pak Prapto duduk, otomatis celananya nempel ma kursi. Dan saat Pak Prapto berdiri…..
“Kreeeek…”
Celana Pak Prapto robek pas di bokongnya.
“Ha… ha… ha…”
Vano ngakak sambil memegangi perutnya.
“ Vano…!” geram Pak Prapto.
Kejadian itu masih di maklumi oleh sekolah. Karena, Pak Prapto juga nggak nuntut apapun.

Saat kelas enam, Pak Sandy giliran menjadi korban Vano. Dia udah pasang perangkap untuk Pak Sandy. Waktu Pak Sandy buka pintu kelas…
“Byurrr…”
Pak Sandy tersiram.
Saat itu orang tua Vano di panggil ke sekolah untuk di peringatkan.
“Pokoknya, Pak, Bu. Sekali lagi Vano buat onar. Saya akan keluarkan dia dari sekolah. Mulai hari ini, vano saya skors selama satu minggu !!” ucap kepala sekolah.
“Makasih pak…”

Waktu terus berjalan tanpa henti. UNpun makin dekat di depannya. Tetapi, ia tak menanggapinya dengan serius. Ia malah makin bandel.
“Kak… kamu kok nakal banget sih?” kata adiknya, April.
“Kakak tuh nggak nakal. Cuma pengen seneng – seneng aja” ujar Vano.
“Kyak gitu di bilang seneng – seneng. Bikin susah oreang tua, iya !!” tegas April.
“Alah…”
Vanopun pergi meninggalkan adiknya.
“Kak, sadar dong… dua hari lagi ujian.” Teriak April.
Tetapi Vano tak mempedulikan adiknya. Vano tetap melangkahkan kakinya untuk pergi dari ruangan itu.

Hari ini, tepat hari UN untuk Vano. Dia terlihat clingak – clinguk mencari contekan.
“Eh…Bagas! Gue minta contekan, cepet !!”
“Enak aja. Kerjain aja ndiri dong !” kata Bagas menolak.
“Eh, loe mau gue kasih blanggem batu !”
Vano mengancam Bagas sembari mengepalkan tangannya.
“Jangan, Van…. Ni gue kasih.” Ucap Bagas.
“Nah, gitu dang. Itu baru temen gue.”

Semua materi ujian telah ia lalui. Sekarang, waktunya pengumuman. Semuanya diberi amplop hasilnya masing – masing. Tak terkecuali Vano.
“Eh… gue lulus!” ucap Bagas.
“Gue juga!” ucap teman – teman yang lain.
Terlihat Vano gugup membuka amplop itu, dan…
“Gue lulus…!” teriak Vano keras – keras.
“Hah, loe lulus Van ?” tanya Farel heran.
“Eh…. Loe ngledek gue hah…?” kata Vano sambil mencekek leher Farel.
“Vano… lepasin Farel !!!” teriak Bu Lasmi.
“Ekh… ekh… ekh…” Farel kesakitan.
Akhirnya Vano melepaskan tangannya dari leher Farel.
“Minta maaf sama Farel, sekarang !!” kata Bu Lasmi.
“Rel, maafin gue ya…” kata Vano.
“Iya, gue maafin. Gue juga ya…”

Setelah maaf – maafan sama Farel, Vano pulang dengan membawa kabar berita itu.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…” ucap ayah, ibu dan adik Vano serempak.
“Gimana Vano?” tanya ibu.
“Aku lulus…!!”
“Alhamdulillah…”
“Yah, nanti aku mau sekolah di SMP Permata ya, yah ? SMP faforite itu loh…!” rayu Vano.
“Nggak, Vano. Kamu akan ayah sekolahkan di MTs dan kamu akan tinggal di pesantren!” tutur ayah.
“Hah… kakak mau di titipin di pesantren, mana mau dia?” kata April.
“Iya yah, aku nggak mau di pesantren!!” tolak Vano.
“Kamu harus mau Vano. Titik !!” tegas ayah.
“Tapi…”
“Tak ada tapi – tapi !” bentak ayahnya.

Setelah kejadian itu, vano terlihat murung. Dia hanya berada di kamarnya.
“Vano, buka pintunya, nak…” teriak ibunya.
“Nggak !! Vano nggak mau buka pintu” teriaknya.
“Vano, dengerin ibu. Kamu harus turuti kata – kata ayahmu. Itu demi kebaikanmu juga. Orang tua tidak akan menggiring anaknya ke lubang buaya. Kamu harus tahu itu.” Katanya lembut.

Hati vano tergugah mendengar perkataan ibunya. Selang beberapa saat, dia keluar dan menghampiri ibu dan ayahnya yang sedang ada di ruang keluarga.
“Yah, bu, maafin vano ya. Vano selama ini Cuma nyusahin ayah sama ibu.” Pintanya.
“Iya, nak. Kami telah memaafkan kamu sebelum kamu minta maaf.”
“Makasih ya, yah… bu…” ucap Vano sambil memeluk ortunya.
“Lalu, bagaimana dengan rencana kamu di pesantren, nak?”
“Ya,bu. Vano setuju, tapi kalau Vano nggak betah. Vano akan keluar dari pesantren!!”
“Kok gitu, sih. Tadi, udah minta maaf ?” heran ibunya.
“Biarin !!”

Segala persiapan telah siap. Diapun telah mendaftar di MTs yang dekat dengan pesantren. Hari ini vano akan di antar ke pesantren oleh ayahnya.
“Ibu, April… aku berangkat dulu ya.” Ucapnya sambil mencium tangan ibunya.
“Ya, Vano. Betah – betah ya disana.”
“Udah… ayuk Vano kita berangkat !” ayahnya memutus pembicaraan.
“assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…”

Waktu terus merangkak. Tak terasa satu bulan sudah Vano di pesantren. Dan dia diijinkan untuk pulang. Dia pulang di antar oleh temannya.
“Assalamu’alaikum, ayah… ibu…Vano pulang !”
“Vano… kamu kenapa nggak bilang kalau mau pulang ?” kata ayahnya.
“Aku di antar temen kok yah…”
“Mana temen kamu ?” tanya ibu.
“Dia langsung balik ke pesantren.“
“Gimana… disana enak nggak ?”
“Enak, temannya baik – baik”
“Terus…” lanjut ibu.
Sebelum ibunya selesai bicara, sudah di potong oleh Vano.
“Udah… ya, bu. Vano mau mandi dulu. Udah sore. Nanti aja ceritanya setelah Vano ngaji, ya…” kata Vano.
“I…ya… iya…” ibu heran.
Vanopun pergi untuk mandi. Ayah dan ibu heran melihat sikap Vano.
“Yah… ibu nggak salah denger, kan ? Vano bilang dia mau ngaji ?”
“Nggak, ibu nggak salah denger. Ayah juga denger kok.”
“Subhanallah… sekarang Vano udah berubah ya, yah…!”
“Alhamdulillah…”

Setelah selesai mengaji, semuanya berkumpul di ruang keluarga.
“Kak, Kak Vano. Kakak mukulin temen kakak ya, kok pulang. Pasti di keluarin dari pesantren ?” tanya April.
“Ya nggak lah… kalau udah lama di pesantren, boleh pulang…”
“Oh… gitu, ya. Kak, tadi kok kakak ngaji sih. Kakak sakit ya…?”
“Siapa yang sakit !” bantah Vano.
“Nggak lah… Kak Vano kan santri. Jadi, harus rajin ngaji. Ya, kan Kak…?” sambung ibu.
“Betul itu…” ucapnya.

Allah memang maha kuasa. Apa yang ia kehendaki, maka terjadilah. Seperti yang di alami oleh Vano. Oh… ya, soal Vano bisa berubah, hanya Allah dan Vano sajalah yang tahu.