Senin, 19 April 2010

P0hon B3rinGin (ReVisi)

Oleh Sofi Ulfamayanti

Suasana sangat gelap malam itu. Aku dan teman–temanku yang lain bergegas untuk berangkat ngaji.
“Eh, tahu nggak. Di sini katanya angker, banyak hantunya!” kata Lusi, temanku saat melewati sebuah pohon besar, tepatnya pohon beringin.
“Ih, takut... yuk kita cepetan pergi dari sini!” ajak Yesi.
“Emang beneran ada hantunya?” tanyaku tak percaya.
“Beneran, aku pernah melihatnya!” kata Lusi meyakinkan.
“Alah, hantu itu tidak ada!” kataku tak percaya.
“Nanti kalau pulang, hati–hati pada pohon itu.”
“Eh. . .”

Di sepanjang perjalanan, yang kami ceritakan hanya, hantu, hantu, dan hantu. Aku sampai bosan mendengarnya. Tak terasa sampailah kami di tempat ngaji. Banyak teman–teman yang telah berada di sana. Kami membaca Al Quran kami masing–masing.

Tak berapa lama, ngaji telah usai, semua murid telah mendapatkan giliran untuk di simak. Hari ini, aku pulang ke rumah sendiri. Karena semua teman–temanku telah pulang terlebih dulu. Setapak demi setapak kulalui. Sampailah aku di tempat pohon angker itu berada. Aku agak merinding melihat pohon beringin yang tua itu, apalagi saat kuingat ucapan temanku tadi. Saat telah lewat dari pohon itu, aku merasa lega.

* * *

Pagi harinya saat berangkat sekolah, aku diintrogasi oleh Lusi dan Yesi.
“Hai, Desi. Sorry ya, kita tinggal kemarin!” kata Lusi.
“Nggak apaapa kok, kawan.”
“Kemarin, kamu diapain sama Hantu Pohon Beringin?” tanya usil Yesi padaku.
“Nggak, nggak ada apa–apa, kok,” kataku santai.
“Kamu nggak takut sama Hantu Pohon Beringin?”
“Nggak, aku nggak takut!” kataku tegas.
“Awas lo, nanti malam kalau ada apa–apa. . .” ucap Lusi menakuti.
“Hih, apaan sih. . .?” kataku kesal.

Guru pun datang, semua murid kembali ke tempat duduk masing–masing. Kali ini pelajaran Bahasa Inggris. Kembali, yang di ceritakan adalah hantu.
“Bahasa Inggrisnya hantu apa anak–anak?” tanya bu guru.
“Ghost. . . .” teriak murid–murid semangat.
“Kali ini ibu akan memberikan sebuah tulisan kepada kalian, tepatnya adalah narrative text yaitu tentang Ghost. . .”
“Ya, Bu. . .,” kataku bosan.

* * *

Akhirnya, Ghost pun usai. Pelajaran hari ini ditutup oleh Ghost. Aku pulang sekolah bersama Lusi, Yesi dan teman – teman yang lain. Saat sampai di rumah, segera ku ganti baju lalu makan siang bersama Ayah, Ibu dan Adikku. Setelah itu kurebahkan tubuhku ke ranjang yang nyaman nan empuk milikku.

“Nak, bangun. Sudah sore!” ucap ibuku tercinta secantik bidadari itu.
“Ya, Bu,” kataku yang masih sedikit mengantuk.
Ternyata tiga jam sudah aku tidur siang. Lalu aku bangun dai tempat tidurku lalu pergi mandi untuk siap berangkat ngaji. Ku tunggu azan magrib sembari menonton TV. Tak berapa lama, magrib pun tiba. Segera aku ambil air wudlu yang segar nan suci. Aku bersama keluargaku salat bersama–sama, yang di sebut dengan salat berjamaah. Setelah salat aku siap–siap untuk berangkat ngaji.
“Bu, aku berangkat ngaji dulu, ya,” kataku sembari mencium tangan ibuku saat berpamitan. Itu kulakukan pula kepada ayahku.
“Assalamualaikum......?”
“Waalaikum salam.....,” ucap orang tuaku serempak.

Di tengah jalan, aku bertemu dengan Lusi dan Yesi yang juga akan berangkat mengaji.
“Hai, Desi. . .?” sapa Lusi dan Yesi padaku.
“Hai juga. . .!”
“Eh, nanti kamu pulang duluan aja ya. Aku sama Yesi nanti mau main dulu ke rumah teman!” pinta Lusi padaku.
“Oh, iya deh.....!”

Akhirnya aku menuruti permintaan Lusi. Saat pulang mengaji, aku sendirian. Saat melewati pohon beringin itu aku merasa merinding. Ada suara tapi tak ada rupa.
“Srrrk. . . .srrrk. . .srrrk...!”
Sebuah suara mengagetkanku. Aku berlari, tetapi suara itu terus mengikutiku.
“Hi... hi.... hi...!”
Suara tertawa seorang wanita, dan saat aku lihat ke belakang, aku melihat wanita memakai baju putih dan tampak seram sekali.
“Ha..............!” aku berteriak kencang dan aku lari secepat mungkin.
Tetapi suara itu terus mengikutiku. Aku tambah kecepatan lariku. Hingga sandalku putus.
“Aduh….!” teriakku saat sandalku putus.
“Desi…. Desi…….!”
Hantu itu menakutiku.
“Ha……….!” Aku kembali teriak dan lari, lari dan lari.
Sampai-sampai aku tak melihat ada kubangan lumpur yang tak begitu besar dan aku terjatuh ke dalamnya.
“Aw…..!” aku mengeluh kesakitan.
Lalu aku bangkit, ku tengok kanan kiri, depan, belakang pun tak lupa ku tengok. Tak ada tanda-tanda dari si hantu.
“Aman…,” ucapku lega.

Aku berlari hingga sampai ke rumah. Ibu dan ayahku heran melihat aku berlari–lari.
“Desi, kamu kenapa kotor, sandal kamu, mana?” tanya ibuku heran.
“Desi lihat.... lihat..... hantu, Bu! Aku tadi terjatuh terus sandalku putus!” jawabku takut.
“Hantu? Mana ada hantu?” tanya ayahku tak percaya.
“Beneran, Yah. Aku tadi lihat hantu!” usahaku meyakinkan.
”Sudah, sudah. Cepat mandi lalu belajar!” tegas ayahku.
“Ya, Yah....!”

* * *

Keesokan harinya, kuceritakan semua apa yang aku alami tadi malam kepada Lusi dan Yesi.
“Tadi malam, aku melihat hantu. Serem... banget!” kataku.
“Ha...... ha.... ha.....!” Lusi dan Yesi tertawa.
“Kok, kalian malah ketawa, sih. Temen lagi susah malah diketawaain.”
Aku kesal.
“Sebenarnya, yang tadi malam itu, aku!” kata Lusi dengan santainya.
“Maksud kamu?” tanyaku heran.
“Yang nakutin kamu itu Lusi!” jelas Yesi.
“Kalian tu, jahat banget sih!” kataku kesal.
“Salah sendiri kamu nggak percaya!” kata Lusi merasa tak bersalah.
“Ih, awas ya kalian....!” ancamku padanya.
“Silahkan aja.....!”

* * *

Malam harinya, kami ngaji bersama, tetapi aku minta izin untuk pulang terlebih dulu. Aku merasa santai berjalan hingga tak terasa aku telah sampai di rumah.
“Assalamualaikum…!” salamku pada ibu, ayah dan adikku.
“Waalaikum salam !” jawab mereka serempak.
“Eh… kakak sudah pulang?” tanya ibuku.
“Eh, iya nih, Bu.”
“Ya sudah. Sana belajar!” perintah ayahku.
“Ya, Yah.”
Aku lalu belajar bersama dengan adikku yang baru menginjak materi perkalian. Kemudian aku tidur terlelap di ranjang empukku.

* * *

Paginya aku berangkat ke sekolah. Tapi aku berangkat sendiri tanpa Lusi dan Yesi. Sesampainya di sekolah, ternyata mereka telah berada di sana.
“Hai, semua....?” kataku mencoba memberi salam.
“Jangan ngerasa nggak bersalah deh...!” kata Lusi sedikit kesal.
“Maksud kamu?” kataku linglung.
“Kamu yang nakutin kita, kan. Pamit pulang duluan terus ganti baju pakai pakaian putih, nyiapin perangkap lalu ngiket kaki kita!” kata Yesi panjang lebar.
“Nggak, aku langsung pulang. Kalau nggak percaya tanya ibu aku deh!” kataku meyakinkan.
“Berarti.....?” ucap Lusi terhenti.
“Pohon itu beneran ada hantunya......!” lanjut Yesi sambil berteriak dan memeluk aku.
“Ih... hantu itu nggak ada lagi!” kataku meyakinkan.
“Nggak, pasti di sini ada hantu, ada hantu!” kata Lusi ketakutan.
“Tenang, tenang ada Desi di sini....!” kataku sok berani.

* * *

Sejak saat itu Yesi dan Lusi tidak pernah menjahiliku lagi. Karena aku bilang kalau hantu itu melindungi aku. Dan mereka selalu lari apabila melewati pohon itu. Dan mereka tidak pernah berani bercanda soal hantu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar